Pamulangan!
Månggå kampir, Radèn
Sêlak awan!
Penggalan sebuah lagu anak-anak dalam bahasa Jawa. Alih bahasanya adalah : Mau kemana, Radèn? — sekolah — silahkan singgah, Radèn! — keburu siang. Sepenggal nyanyian yang mencerminkan suasana sebelum generasi saya, tetapi masih sering dinyanyikan ketika saya masih anak-anak. Generasi yang dalam benak saya : itu nyanyian masa kolonial, takala hanya anak-anak darah biru yang boleh sekolah. Rakyat kebanyakan belum boleh. Paling-paling (katanya) sekolah Angka Loro, artinya cuma dua tahun, dengan pelajaran dasar mampu membaca dan menulis. Tulisan Jawa dan Latin. Nah, rakyat kebanyakan tidak pantas menyapa dengan menyebut nama mereka yang berdarah biru dengan menyebut namanya saja (njangkar). Harus menyapa sesuai dengan kedudukannya. Barangkali, masa sekarang cukup menyebut: Mau kemana, Mas? - Sekolah - (Silakan) singgah dulu, Mas ! - (Tidak, terima kasih) Keburu siang.
- Pa, dulu waktu di Tinggarwangi, kan katanya nanggap maca ya? Kok malah nanggap orang menyanyi Jawa?
- Maca, artinya harfiah ya membaca. Tanggapan yang kamu maksud itu, adalah macapat. Ada pengertian membaca, tetapi dengan suatu teknik tertentu dalam melagukan bait-bait nyanyian, dikenal dengan istilah macapat. Secara ringkas perlu diketahui, bahwa sastra tertulis Jawa, umumnya terbagi menjadi dua macam, yakni bentuk puisi dan prosa. Puisi Jawa baru, selain bentuk têmbang ada juga yang berbentuk syair yang dinamakan gêguritan. Puisi Jawa lama berbentuk têmbang yang arti harfiahnya : nyanyian. Banyak sastra Jawa lama dibuat dalam têmbang. Têmbang Jawa yang baku, ada sebelas macam yakni : Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung.