Selasa, 24 November 2009

TINGGARWANGI (2)

Secara topografis, desa Tinggarwangi adalah dataran rendah yang terdiri atas sawah, ladang dan daerah ian. Sungai Tajum memba­tasi desa di bagi­an barat dan selatan desa yang relatif besar, bagaikan sabuk penyangga yang dapat ngêmbani kehidupan sosial dan eko­nomi desa. Terutama sampai dengan dekade 60-an. Bagian utara dan timur desa adalah daerah persa­wahan. Areal ladang tidak begitu luas, khu­sus­nya hanya berada di antara daerah hunian dan sungai Tajum. Jalan utama desa membelah dari barat laut ke arah timur, menjadi penghubung antar desa dan kecamatan, yang masih didukung jalan alternatif di kiri dan kanan jalan utama.

Selain jalan desa, transportasi ke desa lain juga ditunjang dengan dua tempat penyeberangan. Di bagian hulu lebih banyak sebagai jasa penyeberangan utama dan jalan pintas dari arah Purwojati ke Jatilawang. Sedangkan di bagian hilir untuk jasa penyebe­rangan warga desa Tinggarwangi ke Jatilawang sekaligus menjadi per­sing­gahan perahu pengangkut genteng yang merupakan produksi utama desa, ke daerah Cilacap serta Jawa Barat bagian timur dengan me­man­­faatkan DAS Citandui dan Donan.

  • Sêkêdhap, Pak! Niki mèndha-mèndhané kula kêpéngin dadi wong créwèd, takon baèn!
  • Iya! Apa sih?
  • Niku . . . têmbung topografi. Napa wontên gandhèng pangêrtosan kalih tapa. Kados tapa brata, tapa ngramé niku . . . ? Wong biasané anggêr wontên têmbung ngang­gé “o”, kula mriki nganggé “a” . . .
  • Huss, ya adoh sungsaté. Ora nana urusané karo têmbung tapa kayadéné tapa brata sing atêgês sawijining laku. Dudu. Topografi kuwé jané têmbung manca. Urusané bocah-bocah sekolahan, sing dumadi sêkang rong têmbung. Topo sêkang têmbung topos, bahasa Yunani sing maksudé : tlatah. Grafi sêkang têmbung graphéin têgêsé nulis utawa tulisan. Dadi, topo + graphéin mêngku karêp sawijing uraian utawa jlèntrèh sing tinulis tumrap sawijining tlatah utawa panggonan. Cara gampangé, déarani sawijing deskripsi tentang suatu tempat, kota, wilayah dari sisi keadaan alam­nya. Dadi ora nana urusané karo tapa brata. Uga ora nana urusané karo topo têmbungmu sing atêgês srêbèt utawa gombal nggo lap. Uga, aja kliru karo têpo sing têgêsé amoh arêp ambrol . . .

Tinggarwangi bukan desa yang mudah terisolir. Dari segala penjuru, ada prasarana lalu lintas sehingga interaksi sosial dan budaya dengan desa-desa sekeli­lingnya praktis tidak mempunyai hambatan yang berarti.

Jalan sebagai prasarana transportasi sekarang, boleh dikatakan sama dengan lima puluh tahun yang lalu. Sarana transportasi sekarang sudah jauh berbeda. Tingkat mobilitas tinggi. Mau ke Jakarta pun tidak harus ke Purwokerto, tetapi langsung bisa dari Margasana atau ke Wangon yang jarak tempuhnya lebih pendek.

Peranan sungai sebagai jalur distribusi barang dan jasa sudah jauh berkurang. Di satu sisi, pemanfaatan sungai untuk irigasi jelas ber­dampak positif bagi pertanian, namun di sisi dampak pergeseran gerak erosi bagi wilayah Tinggarwangi, menjadi tidak mengun­tung­kan. Cobalah perhatikan perpindahan erosi sungai, sebelum dan sesudah debit air sungai Tajum dikendalikan. Contoh : DAS yang merupakan tanah landai, pada saat banjir atau debit air me­ningkat akan terendam dan membentuk aliran baru. Akibatnya di sisi sebe­rangnya akan bertambah dengan tanah landai baru. Demi­kian seba­lik­nya. Bergeser ke kiri dan kanan secara bergantian, tetapi tetap dalam daerah aliran sungai.

Lepas dari manfaat bendungan Tajum, dari sudut pandang dampak erosi menjadi lebih parah. Pernahkah dihitung berapa luas wilayah yang hilang dibandingkan yang mungkin timbul? Tidak mustahil jalan terputus tidak hanya terjadi Gentawangi, tetapi mungkin juga jalan raya di Jatilawang - Wangon bila tidak diantisipasi.

Saya tidak memiliki data perkembangan maupun ciri populasi. Pengamatan sekilas pun terlihat bahwa peningkatan cukup signi­fikan. Praktis sudah sulit mencari pekarangan kosong yang lega. Beberapa bagian desa yang dahulu daerah kosong, kini berubah menjadi daerah hunian. Bagaimana dengan sepuluh - dua puluh tahun ke depan?


Sosial Ekonomi
Selain bertani — sampai dengan dekade 60-an — masih banyak pembuatan genteng dan batu bata. Pada masanya, genteng ber­kembang sebagai industri rumahan. Ada kesa­tuan yang saling berkait antara sawah, ladang dan sungai yang saling menunjang dalam peng­hi­dupan warganya. Puluhan tempat pembakaran genteng tersedia. Truk, gero­bak dan delman, perahu serta sepeda menja­di sarana trans­portasi barang dan jasa. Semasa faktor prasarana dan sarana masih memadai, Tinggarwangi termasuk desa produktif yang tidak terting­gal dengan desa-desa sekitarnya.

Tatkala Tinggarwangi dikenal sebagai produsen genteng, recruitment dimulai sejak dini. Sejak anak-anak, mereka menjalani semacam pelatihan dengan cara membantu pekerjaan orang tuanya. Jangan menganggap sebagai eksploitasi tenaga kerja anak-anak. Mereka termasuk kelompok masyarakat yang produktif secara tradisional. Sementara itu, semakin banyak jumlah penduduk dan keterbatasan lahan pertanian dan bahan baku untuk membuat genteng, mendo­rong beberapa warga bermigrasi ke lain daerah dengan tetap melaku­kan profesi yang sama : membuat genteng. Bumi Jawa, Sidareja adalah daerah tujuan migrasi awal.
  • Siki tah wis langka pawon gêndhèng ya?
  • Laah, nggih mpun kirang. Wontêna nggih sêkêdhik. mBotên kados riyin.
  • Apa wis léwih képénak, ora rékasa lan késél gawé géndhèng ?
  • Niku tah, mawi-mawi. Anggér sing ménggotane téng Jakarta napa téng Arab napa pundi angsal grojogan nggih griyané mandan wéra ...
  • Apa akèh sing nyambut gawé néng paran?
  • Laah, ngampak
Semasa saya tinggal di desa, sudah terdapat sekolah, langgar, pasar, warung-warung, kopak atau pos jaga dan lapangan olah raga. Saluran drainage, jalan kecil yang relatif bagus. Selain membuat genteng, sebagian besar adalah petani penggarap atau hanya memiliki sedikit tanah pertanian. Hanya sebagian kecil yang betul-betul memiliki sawah dan berkecukupan. Kini bertani dengan bantuan irigasi.

Sampai dengan akhir tahun 2000 yang lalu, keadaan sosial ekonomi sudah jauh berbeda. Secara sekilas, tampak banyak perkembangan. Rumah-rumah banyak menggunakan tembok dan keramik, tenaga listrik tidak hanya untuk penerangan, tetapi untuk sumur pompa dan peralatan rumah tangga lain.
  • Lha, ngapain gué bikin gêndhèng lagi. Mêndhing di Jakarta, biar cuman gini, kagak kêlihat sama sodara inih! Bisa ngirimi dhuwit, bada bisa bali, sukur-sukur nyilih mobil, nggak malu-maluin ...
  • Biyuh!
Sekitar dekade 50 atau 60-an, terma­suk produktif di bidang pertanian dan industri rumahan genteng, tetapi kondisi eko­no­minya minim. Perkembangan jumlah penduduk, makin memper­sulit tena­ga muda mempunyai pekerjaan. Mereka mencari lapangan kerja ke daerah lain dan beralih profesi atau menjadi tenaga kerja migran. Memang, hasil mengalir juga ke desa, sehingga dari sisi ekonomi, tampak ada kemajuan. Namun ada dampak lain yang pantas di­simak. Sebagian penduduk usia produktif lebih banyak berada di luar desa. Interaksi ekonomi dan sosial juga meningkat. Masalah­nya sekarang adalah : apa­kah tenaga-tenaga keluaran Ting­gar­wangi mempunyai bekal ketrampilan dan kepandaian yang me­madai ?

Sekitar tahun 80-an saya dengan seorang teman dari Jakarta ber­kunjung ke desa. Memakai kendaraan umum minicab dari Purwo­kerto. Berdua duduk di sebelah sopir. Dalam perjalanan dengan teman saya sedikit ngobrol tentang kondisi ekonomi nasional yang banyak bertumpu pada bantuan — sebagai kata halus sebutan hutang — dari luar negeri. Eh, si sopir — dengan gaya sok tahu, tetapi bahasanya gaya pinggir jalan — mengatakan : ngutang ya nggak apa-apa. Yang penting kan bisa mbayar! Kira-kira lima ratus meter, ada penumpang satu lagi, eh, dia masukkan duduk di depan. Kata­nya : depan ini memang bisa berempat, kok!

Dari sisi logika, memang benar. Hutang boleh sepanjang bisa mem­bayar. Sekarang kita lihat, siapa yang hutang dan siapa yang mem­bayar? Mungkin dia begitu semangat membela “pembangunan” sam­pai nggak kepikir bisa “terjerat di bawah pohon beringin.” Tiga hal saya jadi prihatin. Pertama, dia bukan orang yang sadar aturan. Buat apa dia punya SIM tetapi tidak tahu aturan kapasitas angkutan? Kedua, hampir pasti orang ini bukan tipe pekerja profesional. Kena­pa? Dia tidak bisa membedakan fungsinya sebagai pengemudi dan penjual jasa profesional. Secara etika, tidak perlu dia mencampuri dialog orang lain, apalagi tanpa mengetahui konteks­nya. Ketiga, bukan orang yang bisa belajar, merasa tahu tetapi tidak menger­ti. Berapa banyak orang-orang yang bersikap seperti itu?

Kita lihat lagi kejadian berikut ini. Pada saat menjelang hari raya Idul Fitri banyak orang-orang yang pulang secara kolektif dengan mobil. Mereka aslinya adalah warga Sanggreman, Tinggarwangi, Pa­gentan sampai Purwojati dan sekitarnya. Begitu masuk dari Marga­sana, beberapa kendaraan didaulat untuk “ndudhah” atau menu­runkan penumpangnya. Selanjutnya “mempersilahkan” para pe­num­pang menggunakan ojek mereka. Unsur pemerataan? Bukan! Tetapi unsur sakêpénaké dhéwèk atas dasar pemikiran materiil, sudah menjalar ke mana-mana. Barangkali karena kebu­tuhan se­saat. Bera-pa banyak perilaku materialistis yang mengalahkan etika dan moral? Tentu saja, saya punya contoh-contoh lain, perilaku atas dasar otori­tas materiil yang tidak peduli dengan nilai kemasya­rakatan. Mungkin itulah, dampak pembangunan dan interaksi sema­ngat ekonomi.
Budaya
Sampai dengan dasawarsa 60-an, di Tinggarwangi ada dalang wayang kulit disertai kelompok olah tari tradisional, teater rakyat kêthoprak, menorèk, dua kelom­pok atau rong rambuan ébèg serta calung. Bukan main! Sebuah desa yang belum dapat dikatakan makmur, mempunyai begitu banyak ragam kelompok kesenian.

Ada yang berpendapat bahwa perkembangan seni dan budaya sejalan dengan mening­katnya kemakmuran ekonomi. Apa iya? Cobalah kita tengok sejenak. Tatkala Tinggarwangi secara ekonomi belum semakmur sekarang, arus informasi juga belum sederas seka­rang, justru seni dan budaya relatif hidup. Siang hari bekerja, malam hari bisa ikut gêndhingan, macapat dan sejenisnya. Kini, sudah jauh berbeda. Listrik, parabola, televisi, wartel, angkot dan simpang siur kendaraan bermotor siang malam. Kegiatan olah raga sepakbola yang dulu hidup dalam kelompok tingkat desa, kini sirna.
  • Lah sêniki olahragané nggih têng televisi. Bal-balan liga Itali kalih smèk don (karêpé: acara gulat gaya bebas smack down)
  • Éé . . .
  • Anggér ébég taah tèksih wontên. Tiyang nanggap wayang nggih tèksih. Niku, dhalang Gino.
  • Lah kêpéngin krungu têmbang Éling-éling karo Waru Dhoyong?
  • Niku têng calung. Calungê sanès gadhêhané kaki Tirkuat. Sing wontên sêniki têng Kali Sadhang. Anggêr bapaké kêrsa, sagêd nanggap calung Kroya napa Sidarêja.
  • Éé . . .
  • Laré nèm sênênge nggih campursari napa dhangdhut, niku. Dhangdhut mawon laah. Nggih, Pak nggih? Bapaké ajêng nanggap Inul napa?
  • Inul sapa?
  • Inul Daratista! Jaaan, top pisan, niku! Anggêr bapakê nanggap niku taah, hébaaat. Pokokê siip, lah!
  • Éé ... lha anggêr mênorèk?
  • Mênorèk? Mênorèk niku napa sih ?
  • Usss, gundhulmu!
Kekuatan teknologi informasi memang hebat. Ada benarnya, siapa yang menguasai teknologi informasi, dia lah yang bisa berkuasa di berbagai bidang. Bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Siapa penguasa teknologi informasi? Siapa yang bisa menggunakan keku­atan informasi? Semua itu bukan sekedar urusan yang punya modal dan kekuasaan, karena kita juga masuk di dalamnya — sekurang-kurangnya — sebagai massa sasaran atau audience.

Setiap hari, hampir setiap saat, orang jualan masuk ke rumah tanpa permisi dalam bentuk iklan sabun - sampo - obat anti ketiak bau - pembalut sampai mobil kinclong. Melihat orang “padu” dengan istilah wacana, yang juga cari duit. Semuanya tidak hanya dinikmati oleh mereka dikota-kota besar di dunia, tetapi juga di Tinggarwangi! Bagai­mana kita menyikapi? Inilah yang saya katakan : padha cêkêlana waton wujud etika dan moral.

Sebaliknya, tatkala ada usaha memasukkan kembali pelajaran ba­hasa Jawa ke sekolah, eh ada yang mengatakan kenapa harus meng­ambil dan atau berkaitan dengan wayang? Kan wayang itu ceriteranya Hindu wong babonnya Mahabarata dan Ramayana? — Kebetulan dia itu guru, lho. Siapa? Oh, itu nggak usah saya sebut namanya! Wong ngomongé maring inyong, koh! Yang penting bukan orangnya, tetapi bagaimana mungkin pemikiran bisa terkotak sesem­pit itu. Sungguh, perlu wawasan yang tidak stereotip. Dari sisi ba­hasa, bukankah wayang punya relevansi begitu tinggi? Kalau dari pertunjukkannya, bisa saja ambil gaya menorek, biar lihat Hikayat Amir Hamzah, Ali Baba, Umar Maya atau ciptakan tokoh baru, dan jangan lupa berbaju gamis!
Sosio Religius
Di depan rumah, dulu tinggal kaki Mirkasan. Kaki Mir itu kyainya langgar yang terletak arah tenggara rumah­nya. Saya dan teman-te­man dulu kadang-kadang ikut trawèh. Habis trawèh, jaburannya hebat lho, tumpêng! Jika ada acara slamêtan dia pembaca doa. Meski salah satu kakinya tidak ada jêmpol atau ibu jari — ngapun­têné nggih — enak saja dia memakai gamparan. Pembaca doa tingkat desa ya Éyang Kayim. Sepanjang saya tahu, satu-satunya orang yang telah menunaikan ibadah haji adalah Kaji Marsa. Jamannya masih dengan kapal laut dan onta. Katanya, sampai sangu jrangking segala.

Masa itu, tradisi desa seperti sêdhêkah bumi, nyadran dan pêrlon masih berlangsung umum. Saat senja hari setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, orang-orang masih mempunyai kebiasaan membakar kemenyan di pojok rumah. Mau obong gêndhèng tiap pojok pawon dikasih makanan satu takir. Menanam padi, dan mulai memotong padi atau ani-ani, juga melakukan dan membuat sesaji di pojok sawah. Belum lagi jika punya hajat, membuat rumah dan banyak kegiatan lain di desa, disertai sesaji.
  • Buat apa sih sesaji?
  • Lebih dahulu, cobalah kita fahami pengertian mereka. Membuat sesaji adalah salah satu cara yang mereka lakukan untuk menyampai­kan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas segala kemurah­an atau rohman dan kasih sayang atau rohim yang dilimpahkan kepada kita. Sekaligus juga suatu rasa hormat kepada makhluk yang keberadaannya tidak di alam benda. Hanya, caranya mungkin tidak sama dengan cara­mu! Cara apapun, harus kamu lakukan dengan tulus.
  • Apa cara begitu bisa diterima?
  • Diterima atau tidak bukan wewe­nangmu. Kuwé têgêsé ngarani. Ukurannê ya tulus lan iklas­mu mau! Karena Allah Maha Tahu, kamu tulus apa tidak!
  • Lha cara saya beda, kok?
  • Kalau begitu pakailah dengan caramu, secara tulus dan ikhlas, sing patrap. Mereka me­la­kukannya, kan tidak meng­ganggu dan atau mem­persoal­kan caramu, kan? Tidak perlu saling mancéni dan maido.
Membuat sesaji, adalah salah satu tata cara simbolik, sebagai bagian dari perilaku ngrêgani lan asung pakurmatan. Banyak sekali tata cara simbolik yang dilakukan atas berbagai keyakinan ataupun agama. Masing-masing memuat makna. Jika tata cara simbolik sema­kin kabur, semakin hilang, bisa jadi karena tingkat pemahaman yang kurang terserap. Yang utama adalah makna pemahamam agar ter­serap menjadi peri laku, yakni sadar posisi selaku “sing déparingi” kudu ngaturna panuwun karo Sing Maringi secara tulus.

Dulu ada kebiasaan pangur, yaitu memangkas atau mera­takan gigi. Linuné kaya ngapa ya? Sedangkan kebiasaan kêndhurèn atau sela­matan, masih tetap berlaku untuk berbagai keperluan. Dulu, kalau ada brêkat saya sênêng juga!
  • Lha, itu dia! Soal pangur. Napa Bapaké pirsa?
  • Kalau yang kalian maksudkan dengan pirsa adalah wêruh atau lihat, ya. Saya pernah lihat orang pangur. Makanya bisa menggambarkan rasa linunya. Kalau yang kamu maksud apakah saya mengerti? Maka saya tidak begitu faham, tetapi kira-kira begini : pangur biasanya dilakukan pada mereka yang menginjak dewasa. Secara lahiriah, dengan pangur maka gigi seri, terutama sekali gigi taring agar menjadi rapi. Itulah adalah ritual simbol. Artinya, mengandung makna yang menyangkut keyakinan. Gigi seri dan taring dipangkas ujungnya, sebagai simbol pengertian jangan serakah.
  • Lho kok ke situ?
  • Iya. Taring yang menonjol itu bagaikan dênawa atau raksasa. Nah, dipangur itu, supaya kita jangan meniru raksasa dari segi watak serakahnya. Anggêr arêp gêdhé dhuwur tah ngonoh! Ngên­di ana buta sing untunê miji timun? Tuli ora nana! Déné untuku kaya kiyé, taah, jaragan wis paringané. Arêp pangur wêdi linu tur ora jaman. Sing pênting cêkêlana pangêrtèn: aja srakah kaya buta! Héhé, hé hèèh . .
  • Dados, klêbêt mbotên kénging srakah kalih brêkat nggih?
  • Ya ora kêna! Dimanapun, kapanpun dan siapapun, tidak pantas sera­kah. Pada hemat saya, perkataan brêkat itu maksudnya bêrkah atau barokah. Jadi, kalau kita ikut dalam acara sela­matan atau kêndhurèn, biasanya mendapat brèkat. Nah, brêkat atau oleh-oleh setelah menja­lan­kan acara selamatan itu, adalah wujud sim­­bol agar semua peserta kêndhurèn juga memperoleh baro­kah dari Allah, karena telah sama-sama menyampaikan permo­honan yang diutarakan dalam acara sela­matan termaksud. Barokah itu, kita lubèrkan pengertiannya kepa­da anggota ke­lu­arga, agar sama-sama mendapatkan barokah. Ada perilaku saling berbagi. Bukan cuma ma­kan­annya. Tetapi pengertian barokah­nya. Oleh karena itu, seringkali ada ung­kapan : semoga mem­peroleh bêrkah slamêt. Dari siapa? Dari Gusti Allah Ingkang Maha Agung. Wong arané bêrkah slamêt, tuli ora kudu gêdhé dhuwur lan amba dawa. Sênajan mung sê-têngu pari­basané, kudu matur nuwun, détampa kanthi rasa sukur. Termasuk makan brêkat, ya disukuri saja, aja srakah. Aja rêbutan. Aja ngiri dumèh mung olih cékèr. Jumlah­nya terbatas. Wong sing mélu kêpung­an baé mau mung nicipi, koh ya . . .
Pada denah desa Tinggarwangi di atas, tertera tanda yang menandakan tempat pemakaman umum. Pada tanda tersebut, di sebelah kiri, tempat kedua orang tua saya, almarhum Sudiwan Atmosumarto dan almarhumah Sêrkini dimakamkan. Juga kakek-nenek, dan buyut atau orang tuanya kakek dan nenek. Perkataan makam berasal dari bahasa Arab, maqom. Istilah umumnya kuburan. Karena ada ung­kap­an untuk menyatakan dengan rasa hormat, kita gunakan istilah bahasa Jawa pasaréan, dari kata pa + saré + an. Sering diucapkan pêsaréan. Saré adalah perkataan Jawa halus yang artinya tidur.

Bagi orang-orang Tinggarwangi baik yang masih bermukim disitu maupun yang tinggal di lain daerah, rata-rata masih menjalankan tradisi ziarah ataupun nyêkar ke makam para pendahulunya. Baik itu orang tua, kakek-nenek, maupun mereka yang dihormati. Bisa kita umpamakan sebagai kegiatan napak tilas. Kesemuanya meru­pakan simbol-simbol perilaku bagaikan benang merah penyambung generasi beserta nilai pemahamannya.
  • ... katanya nggak perlu datang dan meminta sama makam.
  • Lah, kamu juga aneh. Minta kok sama benda yang namanya makam. Apalagi kalau kamu minta duwit. Apa makam punya duwit? Makam adalah pêti­lasan, situs, yang mengarahkan pengertian kita ter­hadap seseorang. Kita meng­hormati bukan kepada bendanya, tetapi kepada seseorang yang jasadnya dulu dima­kamkan disitu. Bahwa kita mendatangi situs atau petilasannya, itu merupakan upaya untuk lebih peduli atau concern dengan perwujudan si­kap. Secara teori, kan lebih mudah berkomunikasi bila tahu “koor­dinat”nya. Kamu, kalau mau menghadap Pak Ca­mat, aturannya ya di kecamatan, kan? Ora déadhangi mêngko anggêr liwat tung dhêrik. Soalé, apa arêp nrabas-nrabas tung ngonoh!
  • ... makam kan tidak butuh apa-apa, kan?
  • Makam memang tidak butuh apa-apa, yang membutuhkan adalah kita. Butuh apa? Lahiriah, terpelihara, bersih dan rapi. Kamu mandi juga supaya bersih. Lingkungan disapu, supaya bersih dan rapi. Pêtilasan, dibersihkan dari sampah, rumput, lumut dan sejenisnya, juga supaya rapi dan bersih. Jadi sekurang-kurangnya, dua hal. Pertama bersih lingkungan untuk menjaga kelestarian pêtilasan, karena ada kaitan sejarah ataupun batiniah dengan kita. Kedua, kita peduli ada lajur sejarah dan pemahaman yang perlu untuk meme­lihara suasana batiniah kita sendiri.
  • ... lha perlunya ziarah atau nyêkar?
  • Kita menghargai dan hormat tidak hanya kepada yang kelihatan mata wantah. Kita menghar­gai kepada seseorang yang dimakamkan disitu, atau karena di­situ adalah situs yang mengacu kepada seseorang yang kamu hormati. Contoh: kamu hormat sama bendera merah putih. Apa karena kamu hormat kepada sepotong kain? Bukan! Kamu hormat sama tumpah darahmu, Indonesia. Intinya : diba­lik suatu simbol, selalu ada makna. Kalau suatu saat kamu me­nyem­patkan nyêkar ke pêtilasan éyangmu, berarti ada rasa hormat dan membina hubungan batin, sebagai bagian dari kesa­daran keyakinan. Saya tahu, kalian masih mempunyai banyak perta­nyaan. Kumpulkan dulu, tanya­kan kepada yang faham. Banyak lho di Tinggarwangi yang sudah faham. Karena, mengerti dan memahami masalah petilasan, tak lepas dari pem­bahasan yang menyangkut spiritual beyond. Nggoné nêng kéné ora mêdhêng.
Resume :
Saya bukan seorang ahli untuk membahas ekonomi dan perubahan sosial pedesaan. Mem­ban­dingkan suasana pada deka­de 50-an dan mengamati pada awal akhir abad 20. Banyak perubahan terjadi pada kehidupan ekonomi dan sosial desa. Saya faham, pengaruh transfor­masi ekonomi, budaya dan teknologi telah menunjukkan perannya. Lambat atau cepat akan mempengaruhi sikap dan pandangan hidup orang-orangnya.

Uraian dan persepsi tentang Tinggarwangi, bisa jadi akan terbelah antara mereka yang mengikuti arus air perubahan dan mereka yang mengerti perubahan namun tetap berpegang dan berusaha menjaga nilai-nilai tradisi budaya. Barangkali yang akan terjadi adalah simbiose atas dasar adaptasi masing-masing kepentingan.

Sekurang-kurangnya separuh propinsi di Indonesia telah saya kun­jungi. Beberapa tempat di luar Nusantara sudah saya kunjungi. Kese­muanya bukan sekedar singgah di kota. Sikap dan pan­dangan hidup termasuk keyakinan mereka, saya coba tengok. Bagi saya, the spirit of Sanggarwangi tetap konstan. Tinggal kita, apa­kah bisa mema­hami nilai kebijakannya? Kehidupan yang telah dan tengah saya jalani, adalah bagian dari laku. Berawal dari Tinggarwangi dan entah sampai kapan dan dimana. Walahu alam bisawab. Bukan cuma hormat dan menghargai, tetapi ada rasa pakurmatan yang tidak mudah diprediksi, khususnya kepada kedua orang tua serta sêdaya ingkang kula bêkténi. - Tu Ds.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendapat, saran dan komentar