Kamis, 22 Oktober 2009

NDÊLÊNG MBURI

Cobalah melihat ke belakang barang sejenak. Ada waktu yang sudah kita lewati. Juga ada jarak yang telah kita lalui. Sekarang berada dalam masa kini, dan tengah menghadapi masa depan. Posisi kita berada di suatu tempat dalam rentang waktu. Melihat, cenderung sebagai usaha untuk mengerti dan memahami ada proses yang menyebabkan kita berada disini dan pada saat ini. Saya gunakan perkataan : ndêlêng mburi.

Seandainya memakai ukuran langkah kaki, di belakang ada jejak kita. Di depan ada jalan yang masih harus dilalui. Melihat tidak sama dengan menoleh. Jika menoleh ke belakang, ada sesuatu di belakang kita, tetapi belum tentu ada kaitan atau hubungan dengan keberadaan kita. Sekitar jam tujuh malam, cuaca gerimis. Pak Tapèn berteduh dalam becaknya.


— Nêmbé kondur, Pak? Kok, radi ndalu! — Lah iya, kêbênêran ésih ana sing kudu dérampungna, ya lêmbur sêdhéla. Bisa ngêtêrna? Kiyé, wong lagi grimis! — Lah, mangga, grimisa wong mpun dados pêdamêlané . . . Dia dorong becak dengan menyelip tanpa ragu di celah antrian mobil, motor, pejalan kaki, polisi dan angkot yang ngêtèm beserta calonya. Belok ke jalan BDN. — Wulan Sadran wingi bapaké kondur? Kados sêpên têng ndalêm. — Tilik pêtilasan, nyêkar. — Lah ênggih Pak, wong jaman sêniki anggêr mbotên nyêpêngi warisan, sok nggringsang raosé. Kula malah angsal sêdasa dintênan. Ningali sing têng wingking, kalih nêtêpi napa padatané dusun. — Nyadran? — Ênggih. — Lah anggêr udu wulan Sadran? — Sêwulan, dangu-danguné kalih wulan nggih wangsul. Nggih kados niki, ngodhéné têng paran. — Ya, nêng êndi-êndia anggêr têmên, diparingi waras . . . — Jaragan mpun mêsthiné tiyang kêdah mênggota. Mados kodhéan ndésa, nggih mpun langka. Anggêra dhong wontên, pénggèlé mbotên cêkap nggé laré.

Pak Tapén berasal dari desa Sawahan sebelah utara Rawalo yang mencari nafkah sebagai tukang becak. Teman-temannya ada yang dari Tipar, Sidamulih dan Cindaga. Mereka biasa mangkal di pasar Pondok Gede. Menurut ukuran umur, sebenarnya pak Tapèn sudah tidak muda lagi, karena waktu remaja pernah jual suluh atau kayu bakar di Tinggarwangi.

Dia gunakan istilah kondur yang berarti pulang untuk dua hal. Pertama, diartikan pulang ke rumah, dimana saya tinggal. Kedua, diartikan sebagai pergi ke desa kelahiran saya : Tinggarwangi. Dia faham tatkala saya memberitahu lokasi rumah keluarga berada persis di sebelah baratnya rumah dalang Kaswo. Dia juga menggunakan kata wingking yang artinya mburi atau belakang, sebagai pengganti sebutan keluarga dan keadaan di desa.


Menurut saya, dia tahu betul tugasnya. Bisa mengatasi persoalan yang dihadapi, dan menyesuaikan keadaan. Bagaimana menjalankan becak dalam kesemrawutan lalu-lintas. Semua dijalani dengan tanggung jawab pada keluarga yang jauh di Sawahan. Tetap mengingat pengertian tradisi desa, agar ada rasa ketenteraman di manapun dia mencari nafkah. Dari mereka saya tahu, dua suasana kehidupan yang harus dijalani secara seimbang. Pola kota besar dan pola desa. Ada pengertian ndêlêng mburi.

Pertama, menjalankan kewajiban dan tanggung jawab keluarga dengan mencari nafkah di luar daerahnya. Ora pêrlu ngrêsula, ora maido dan ora komplèn. Juga tidak demo sama pemerintah. Perkataan mburi mempunyai konotasi beban yang jadi tanggung jawabnya. Kesemuanya dijalani dengan tulus.

Kedua, mburi dalam arti pengertian dari masa lalu, kebiasaan yang diketahui dan diyakini, sebagai metode untuk menjaga keseimbangan sikap dan perilaku agar selamat tidak ada gangguan yang berarti, supaya tidak nggringsang. Ungkapan yang sering dipakai adalah : kalisa ing sambékala, tinêbihna ing godha rêncana, tinambahana têguh rahayu slamêt. Nggringsang adalah perasaan yang tidak tentram, tidak stabil dan hampa.

Ketiga, mburi dalam arti suasana dan pengalaman yang telah lewat. Pak Tapèn pernah sebagai penjual kayu untuk membakar genteng. Dia pernah sebagai buruh tani, yang pendapatannya tidak tentu karena tergantung musim penggarapan, dan upah uang serta pénggèl yang tidak mencukup untuk seluruh keluarga.

Pak Tapèn beserta teman-temannya sedaerah — menurut saya — adalah contoh yang bisa ndêlêng mburi. Mereka merasa dirinya bukan orang sekolahan, orang kecil yang tidak pandai. Tetapi saya bisa mengatakan : mereka termasuk orang-orang yang mengerti dan menjalankan bagian dari moral tradisi. Tanpa teori gaya anak sekolahan, mereka mengerti arti ndêlêng mburi. Alih kata ndêlêng mburi secara harfiah adalah melihat ke belakang.

Tulisan ini adalah salah satu upaya saya untuk ndêlêng mburi. Keinginan melihat suatu gambaran di belakang, suasana yang telah lewat, dengan pola tertentu yang dapat dirasakan. Meski sudah lewat, ternyata masih ada bayangan, masih ada gambaran yang ngégla. Ibarat langkah kaki, masih terlihat jejak kita. Kita melihat jejak sendiri. Melihat jejak langkah orang lain, barangkali tidak begitu berarti. Tetapi, jika kita melihat jejak kita sendiri, pada umumnya akan ada kesan tentang masa lalu. Dengan kata lain, akan ada persepsi yang timbul dari benak dan perasaan.


Saya mencoba ndêlêng mburi pada bagian yang lebih spesifik. Yakni dari sisi yang berkaitan antara saya dan orang tua. Selanjutnya — karena pertimbangan teknis penggarapan — saya tulis dalam bentuk catatan seri dengan judul Éling Wong Tuwa. Setiap seri dijilid dan merupakan satu edisi. Dalam satu edisi berisi tema yang terbagi menjadi beberapa topik. Dengan kata lain, topik-topik yang terhimpun dalam satu edisi, mempunyai tema. Tema yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan, dan membentuk seri tulisan.

Tujuan penulisan adalah memberikan deskripsi untuk keluarga, agar mereka bisa mengerti dan menarik makna dari masa yang telah lalu, khususnya hubungan dengan orang tua. Meniru persis jelas tidak mungkin. Individu dan kurun waktunya berbeda. Tetapi ada korelasi makna sebagai tambahan pengertian dan pemahaman.

Sungguh tidak mudah untuk melihat ke belakang tentang kebersamaan saya dengan orang tua. Salah satu kesulitannya adalah penggunaan bahasa dan kosa kata yang dapat menjembatani rentang waktu, generasi dan penuturan tanpa nyêbal dari pakem. Terutama pada bagian yang sifatnya spontan. Dalam seri tulisan ini, saya menggunakan pengertian sebagai uraian yang bersifat retrospeksi dan introspeksi.
  1. Retrospeksi, karena merupakan deskripsi yang melihat kembali kejadian-kejadian masa lampau. Ditulis dan diuraikan pada masa kini. Ada tiga cara yang biasanya dapat digunakan untuk melihat kembali..

    Pertama, dengan menggunakan bukti-bukti peninggalan, baik berupa dokumen tertulis, grafis, foto, barang ataupun bentuk-bentuk lain yang merujuk dan berkaitan langsung dengan situasi yang hendak kita lihat. Barang-barang atau perbendaharaan, yang sesuai. Saya menyebutnya sebagai khasanah realistik.

    Cara kedua adalah bentuk kreasi artistik, biasa disebut icon atau ikon. Secara psikologis, ikon harus mempunyai akses langsung ke arah pengertian. Saya menyebutnya sebagai simbol artistik.

    Ketiga, dengan mengandalkan daya ingat. Secara mandiri atau dengan masukan dari pihak lain. Saya menyebutnya sebagai rekonstruksi imajiner. Cara ini memang menuntut suatu pertanggung jawaban moral yang memadai.

  2. Introspeksi, karena merupakan upaya mawas diri, menelaah penalaran dan pemahaman. Barangkali, dengan upaya termaksud, saya dapat mengetahui posisi saya dalam lingkup keluarga umumnya, dan hubungan saya dengan bapak serta ibu pada khususnya.
    Upaya retrospeksi dan introspeksi termaksud tetap mengacu pada pengertian yang langsung atau tidak langsung telah dilakukan oleh orang tua dan diambil sebagai pelajaran. Dengan demikian, tetap ada tanggung jawab moral yang menyertainya. Dalam kaitan ini, penyebutan nama dan peristiwa adalah benar. Elaborasi hanya terjadi pada bentuk dan gaya penulisan agar lebih membantu ke arah situasi yang dibicarakan.

    Contoh dong, Pa! Pengertian masa lalu yang bisa dipakai sekarang. — Kalian belajar sejarah kebangsaan. Antara lain ada pengertian bahwa persatuan dan kesatuan harus diaplikasikan, agar bangsa menjadi kuat dan sentosa. Bila kuat dan sentosa, meraih cita-cita bangsa akan lebih mudah tercapai. Lihat saja ajaran seperti rukun agawé sêntosa. 
    — Iya sih, tapi itu kan bangsa dan negara. Lah tentang kakek-nenek? — Intinya sama. Kita membuat deskripsi, memperoleh persepsi. Persepsi atas kejadian masa lalu. Kemudian kita mengerti apa yang sebaiknya dan dapat digunakan masa kini. Misalnya, menuntut ilmu dengan landasan moral adalah penting. — Landasan moral? — Lah iya, laah. Orang pinter yang moralnya rendah, akan menggunakan kepandaiannya untuk enaknya sendiri saja. Tidak peduli kalau merugikan orang lain. Bahasa Jawa-nya : Pintêré nggo mintêri. — Susah Pa, kalau begitu! — Sing ngarani gampang sapa.

    Catatan mengenai orang tua berikut bukan riwayat hidup. Informasi tentang riwayat bapak dan ibu dapat dilihat pada buku keluarga khusus. Termasuk nama anak-anak, cucu serta cicit beliau. Dalam seri Éling Wong Tuwa ini, bukan suatu pembahasan serius dalam arti ilmiah. Dasar daya ingat dengan cara rekonstruksi imajiner cukup dominan, yakni menyangkut kejadian masa lalu, yang selanjutnya diuraikan pada kondisi 50 tahun berikutnya.

    Sejarah kaisar Ming di Tiongkok, ditulis rinci 150 tahun kemudian. Bahkan kitab suci sekalipun, tidak ditulis pada waktu kejadiannya. Kok sahih? — Kan, karena ada check and rechek, Pa! — Memangnya Papa nggak melakukan itu? Wong catatan di data komputer saja sudah saya awali sejak 1987, kok. Selain, ya asal tahu saja, saya juga harus mengheningkan rasa pangrasa, mohon petunjuk-Nya — Wah, belum kejangkau . . . itu siiih! Lah dengan para Éyang, kok? — Ya, termasuk. Makanya sing arané silaturohim ora mung karo sapêpadhané sing êsih urip, ning uga karo para lêluhur. Prihatinmu sing bênêr! 
Kesempatan yang saya alami untuk lebih mengenal beliau berdua dapat dikatakan terbatas, dibandingkan dengan yang dialami oleh kakak-kakak saya. Oleh karena itu, selain pola retrospeksi dan introspeki di atas, lingkup deskripsi ini dapat dikatakan parsial, persepsi yang relatif subjektif dan bukan rincian peristiwa aktual.

1. Parsial
Pengertian parsial disini artinya, pada bagian-bagian ataupun masa-masa tertentu. Ada bagian yang menyangkut waktu dan bagian yang menyangkut bahan pengingat.
  • Parsial yang menyangkut waktu, antara lain yang menyangkut kebersamaan lahiriah dengan orang tua. Sejak lahir sampai tamat Sekolah Rakyat; sekarang Sekolah Dasar. Masa termaksud, akan ditulis dalam edisi berikutnya. Masa kanak-kanak dengan segala keterbatasan penalaran dan pengertian. Kemudian, selama enam tahun berikutnya. Meski tidak sepenuhnya bersama-sama — karena sudah menjadi anak kos-kosan di Purwokerto — yakni semasa di SMP dan SMA. Masa yang saya sebut sebagai masa transisi. Setelah itu, terus bablas ke Jakarta.
  • Parsial yang menyangkut materi retrospeksi, yakni uraian yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan orang tua.
2. Subjektif
Bapak dan ibu bukan cuma milik saya. Beliaupun tidak cuma memiliki saya. Kejadian dan pengalaman tidak harus sama dengan saudara-saudara saya lain. Ada yang serentak terjadi dan dialami bersama, ada yang saya alami sendiri. Menurut pengalaman dan sudut pandang serta pemahaman saya. Saudara-saudara saya sekandung — tentu saja — memiliki pengalaman dan persepsi. Orang lain dapat membuat penilaian menurut versi dan jamannya. Oleh karena itu, bila terjadi pengertian dan persepsi yang berbeda, adalah wajar sekali.


3. Aktualitas
Lingkup deskripsi ini bukan berita yang menyajikan kejadian aktual, terkini. Satu dan lain hal, aktualitas-pun menjadi sangat relatif, tergantung proses dan persepsi terhadap suatu informasi. Yang aktual adalah pengertian serta maknanya. Bahkan dapat dikatakan selalu aktual, karena terjadi proses pembaharuan pengertian.

Contoh : Foto dan catatan kerja bapak waktu itu, adalah benda-benda lama yang memuat data, yang menurut ukuran waktu, sudah kadaluwarsa. Namun pada saat ini, terutama untuk keperluan catatan ini, menjadi penting. Aktualitas terjadi karena proses pembaharuan arti informasi tersebut. Kejadiannya tidak aktual, tetapi informasinya menjadi aktual dibutuhkan saat ini.

Sikap sêtiti dan pêrmati adalah pelajaran yang berharga. Kegunaan sikap termaksud, memang tidak terasa secara instan. Artinya, seringkali faedahnya tidak bisa dikecap langsung. Sikap sêtiti dan pêrmati melatih kita untuk care and appreciate. *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendapat, saran dan komentar