Selasa, 20 Oktober 2009

SANDHANGAN

Sandhangan berarti pakaian atau garments. Bahasa Jawa halus menyebut : agêman. Sesuatu yang dipakai dan melengkapi penampilan lahiriah. Dalam konteks pemahaman kultur, kata sandhangan juga merujuk pada pengertian kelengkapan bukan lahiriah. Misalnya daya upaya atau kemampuan non-lahiriah seseorang, sehingga dia mempunyai suatu kelebihan dibandingkan orang lain pada umumnya.

Kelengkapan diperlukan, karena terbatasnya kemampuan seseorang baik jasmani maupun rohani. Sejenak, mari kita bicara tentang pakaian dalam pengertian garments. Hal yang menyangkut tiga hal, yakni sebagai kebutuhan, bagian dari gaya hidup serta, kultur.Naskah Sandhangan ini, saya sampaikan lewat blog sebagian demi sebagian. Diangkat dari naskah lama yang tidak dipublikasikan untuk kalangan keluarga. Uraiannya cenderung sebagai gambaran di benak dalam endapan kurun waktu. Tentu saja, akan menyenangkan bila selalu ada tambahan, komentar serta masukan. Bukan sebagai pengetahuan tetapi untuk latihan pada daya olah pikir kita. Terlebih lagi, sebagai bumbu dan warna komunikasi kekerabatan.
  • Kaé, taah … mênganggo apa baèn yaa bagus! Pantês! Dhasaré, jaan … bocah kalung usus têmênan. Kalung usus? Napa kalungan usus?
    Êè ... kuwé tah udu têmbung wantah! Jéré, ngêndikané kaki-nini, anggêr ana bocah utawa sapawongan sing mênganggo apa baé katon pantês lan luwês, déarani kalung usus! Dongèngané, rikala lair ususé ngalungi gulu. nDilallah, mênganggo apa baê, ya pantês! Nyatané tah êmbuh. Aku ora paham ...
Kita tidak hanya memerlukan baju. Kita juga perlu celana, kaos, sandal, sepatu dan lain-lain kelengkapan yang disebut pakaian. Pakaian terdiri atas bermacam-macam nama. Baju, celana dan pakaian sejenisnya disebut sandhang. Nyandhang berarti memakai. Sandhangan adalah hal-hal yang fungsi serta sifatnya untuk dipakai, dan merupakan suatu kelengkapan. Sejak lahir sampai jadi layon, seseorang perlu sandhangan, dalam arti wantah yaitu pakaian, penutup tubuh.PakaianBinatang, sejak lahir sampai mati, praktis tanpa pakaian.

Tumbuhan sejak thukul sampai punah, juga tanpa pakaian. Binatang dan tumbuhan dilengkapi cara dan sarana perlindungan terhadap alam sekeliling agar tetap bertahan hidup. Orang, saat lahir pun tanpa pakaian. Itupun hanya sejenak. Secara umum, sampai meninggal orang berpakaian. Sejak jaman entah kapan, orang berpakaian. Minimalis sekalipun. Jika di pantai Abrico, kota Rio de Janeiro, Brazil merupakan kawasan mengijinkan orang boleh bertelanjang alias wuda blêjêd, itu bisa saya sebut sebagai kesenangan yang kênès. Lebih isis dibandingkan dengan yang terlihat di film seri Hawaii Baywatch.

Sementara kita fahami, bahwa pakaian juga bervariasi sesuai dengan keadaan alam dan budaya suatu bangsa di berbagai belahan dunia. Orang Eskimo di Alaska, harus berpakaian brukut alias tertutup rapat dan tebal, karena masalah bertahan hidup dalam cuaca yang dingin dan kering ekstrim. Tapi kalau sedang ngléncèr di Paris, ya berpakaian seperti masyarakat sekeliling. Lain lagi dengan mereka yang tinggal di daerah padang pasir dengan temperature tinggi di siang hari, angin dan kering ekstrim seperti di kawasan Sahara. Sama-sama brukut, gêdhombrahan tetapi menggunakan tekstil yang berbeda. Lha di Indonesia, yang iklimnya cenderung panas dan lembab, tentunya berbeda lagiApakah orang lahir — secara begitu saja — belum mampu bertahan hidup dari lingkungan baik secara alamiah maupun sosial?

Dari sisi ragawi, struktur fisik tubuh manusia relatif rentan. Dengan kata lain, perlu upaya mengatasi dengan cara yang tepat; wujudnya antara lain dengan pakaian. Jangan lupa, manusia juga dilengkapi akal, budi dan rasa, yang mengakibatkan perlu pakaian. Jadi ada dua kepentingan. Pertama, kepentingan ragawi— yang secara wujud melindungi dan menutupi tubuh. Kedua, kepentingan yang sifatnya non ragawi, misalnya yang berkaitan dengan etika, status, dan sejenisnya.

Kelengkapan
Fungsi utama pakaian adalah melindungi badan dari pengaruh alam sekeliling seperti panas, angin, hujan, dingin, debu dan sejenisnya supaya tubuh tetap comfort atau nyaman dalam melakukan kegiatan. Dari atas kepala sampai ke telapak kaki, kita mengenal kelengkapan yang merupakan bagian dari pengertian sandhangan. Kenapa bagian? Karena dalam budaya komunikasi kita, perkataan sandhangan juga dapat mempunyai konotasi yang berbeda, sesuai dengan konteks pembicaraan.Tudhung, topi, peci disebut juga kupluk, sênik atau topong (Cirebon), blangkon, ikêt dan sejenisnya, merupakan sandhangan yang dipakai untuk kepala.


Badan bagian atas lebih banyak lagi. Pakaian untuk orang perempuan dengan orang laki-laki juga berbeda nama dan fungsinya. Selain kaos, baju, jas, jaket, untuk orang laki-laki, ada juga kutang, kêmbên, kebaya, blazer dan seterusnya. Demikian pula untuk bagian badan yang lain. Gamparan, bakyak, sandal, sepatu, selop mbuh jinggring mbuh ora, yang dikenakan untuk melindungi telapak kaki dan membantu kenyamanan fungsi kaki. Kuda penarik delman juga memerlukan pelindung telapak kaki yang dinamakan ladam. Sapi penarik grobag atau gerobak, perlu tlumpah atau terompah.Dari telapak kaki hingga penutup kepala terdapat berbagai macam barang yang merupakan pakaian atau sandhangan. Apapun wujud dan bentuknya, mempunyai dasar kenyamanan fungsional. Mencangkul berpakaian jas bukak ikêt blangkon, ya tidak mathuk.

Kegiatan dan tata pergaulan serta interaksi budaya, memungkinkan seseorang melakukan penyesuaian dengan pakaian yang yang digunakan. Artinya, pakaian tidak hanya dilihat sebagai sarana pelindung dan kenyamanan fisik. Terdapat kaitan yang erat antara cara hidup dan pakaian seseorang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sandhangan sebagai kelengkapan dalam pranata sosial. Bukan hanya bentuk dan penggunaannya, tetapi mungkin saja sampai corak dan warnanya.

Pakaian yang dikenakan saat santai, tidak sama dengan pakaian saat menghadiri perhelatan. Maka, ada pakaian yang sesuai untuk olah raga, tidur dan kerja. Itupun mungkin terbagi lagi. Kerja bakti dengan kerja di kantor, ya tentu beda pakaiannya. Kerja di bengkel, pakai werkpaak, kerja di dapur pakai celemek. Di televisi kadang-kadang ada acara anjing dan monyet memakai pakaian, itu sih, termasuk kêkênèsan.

Jika kita melihat dokumen para pendahulu — yang sering disebut sebagai para founding fathers — tatkala masih mahasiswa pada jaman penjajahan Belanda dulu, kuliah mengenakan jas dan dasi warna putih, bersepeda. Ada juga yang memakai pakaian gaya Jawa, yakni baju surjan dengan bêbêd. Sekarang, para mahasiswa banyak yang menghadiri kuliah dengan memakai kaos dan sandal. Di punggungnya nggamblok tas punggung yang berisi macam-macam. Seringkali tidak cuma buku, tapi juga barang pribadi yang sifatnya primer. Jika perlu, sekalian ada onde-onde dan camilan lain.

Teman saya — dhasaré wong mandan kêturutan — memiliki koleksi pakaian yang kalau dirapikan tidak cukup dua lemari besar, untuk berbagai keperluan dan suasana dimana dia hadir. Dari sarung sampai yukata atau sejenis kimono, dia punya. Ikêt sampai slayer, ada. Kaos yang dibuat rowal-rawil, sampai jumper atau jaket, jas, punya. Dasi berbagai corak, pating slawir. Mungkin karena termasuk kelompok kalung usus, pakai apapun ya pantes. Lebih pantes lagi karena dia tahu kapan dan dimana sesuatu pakaian dipakai. Tidak asal pakai karena punya.

Kebutuhan jenis dan fungsi sandhangan semakin beragam, termasuk menjadi bagian dari status, penampilan dan gaya atau mode. Bahasa kerennya, pakaian bukan hanya bagian dari gaya hidup atau life style, tetapi juga merupakan fashion statement.Berbagai fungsi, model dan corak. Bahkan, tidak cukup dengan apa yang nempel di badan, tetapi masih banyak pernik-pernik aksesoris seperti gelang, kalung, anting-anting, suwêng sampai tindhik hidung. Cuma sumping dan gelang yang di lengan bagian atas seperti wayang, yang rasanya belum kelihatan.

Pada dasarnya, pakaian untuk orang laki-laki berbeda dengan pakaian untuk orang perempuan. Satu dan lain hal karena perbedaan anatomis dan kegiatan, pranata sosial serta tingkat kenyamanan.Dalam keseharian, kita memiliki berbagai jenis, bahan, corak dan warna pakaian. Baik yang terbuat dari bahan kain atau sejenisnya, sampai pernik-pernik sing ora tau déétung ningèn anggêr ana sing kêtriwal, ya kélingan lan nggolèti. Beragam pakaian yang ada dipakai berganti-ganti sesuai kebutuhan pribadi maupun disesuaikan dalam kegiatan bermasyarakat.

Pakaian tidak hanya sekedar kenyamanan jasmani, tetapi juga penyesuaian terhadap kegiatan sosial. Bahkan dengan pakaian yang dipakai orang dapat memberi ciri : sapa si kaé. Bisa benar tetapi bisa juga keliru, karena pakaian dapat diumpamakan bulu, yang bisa merubah sekaligus mengecoh penampilan.Sejak dulu, saya tidak dapat membuat pakaian sendiri. Saya bukan penjahit atau kleer maker ataupun tailor. Juga bukan seorang perancang pakaian. Bisanê tuku sapêrlunê, dêwéi ana sing ésih anyar grès ana sing lungsuran salêganê, nganggo, ngumbahi lan nyêtrika. Makanya, saya ingat betul waktu pertama kali mampu membeli baju dan celana panjang dengan upaya dan uang sendiri. Bungahé ora karuan.

Jika kita mengamati beberapa gaya pakaian, rasanya telah mengalami perubahan. Apakah kita memang cenderung senang meniru, ya? Pada hemat saya, perubahan cara berpakaian, dapat diamati sebagai upaya meniru dan dapat juga karena menyesuaikan. Bedanya? Meniru, lebih cenderung bertolak dari sisi penampilan. Sedangkan menyesuaikan, dengan pertimbangan fungsional. Baik fungsional aktivitas fisik, sosial maupun budaya. Contoh? Pola meniru, mudah diamati dengan melihat perubahan mode, yang relatif cepat diikuti orang lain. Jamannya baju lèkton alias kélèké katon atau ketiak terlihat, cepat menyebar bagai wabah. Berubah lagi, dengan baju lêngêné dhèndhèk. Bahkan lama-lama jadi dêlton alias wudêlé katon. Barangkali mendapat inspirasi dari pakaian sari gaya India, ya? Bagian yang lain déblêbêd atau terikat dan menutup rapat serta terjurai ke bawah, éé, pusarnya melotot. Lha sekarang, pusar melotot, bagian atas dan bawah mèntèl-mèntèl perkasa! Pantes nggak pantes, pokoknya niru!

Coba lihat gambar lama. Ada masa begitu gaya kalau mengenakan pantalon4 cut brai, yakni bagian dari lutut ke bawah makin melebar. seperti gaya para pelaut tempo dulu. Saking lebarnya, kalau jalan seperti menyapu. Atau, gaya Elvis yang mêthêtêt alias ketat. Lha sekarang, malah super ketat. Kadang-kadang tiba suatu saat seperti mengulang kembali dengan sedikit modifikasi dari mode yang telah lama. Lha yang menyesuaikan? Contoh sederhana bentuk penyesuaian dengan aktivitas fisik adalah adanya pakaian untuk olah raga, pakaian kerja dan sejenisnya. Penyesuaian termaksud bertujuan mempermudah dan menimbulkan rasa nyaman melakukan kegiatannya. Aktivitas sosial, terlihat adanya pakaian yang dianggap pantas dan sepadan menurut pandangan dalam suatu bermasyarakat. pakaian saat piknik, kondangan dan mengikuti upacara jelas tidak sama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendapat, saran dan komentar