Jumat, 23 Oktober 2009

BELAJAR

Di sekolah kita belajar penalaran secara konseptual, adaptasi dan pemahaman ling­kungan. Apa yang saya alami masa kanak-kanak dalam kebersamaan dengan orang tua, ada keter­pa­duan antara kehidupan di rumah, sekolah dan lingkungan. Ini berarti, pro­ses pembelajaran menjadi komplek. Belajar dengan cara menga­mati, mencoba, dan ikut serta dalam kegiatan memperoleh hasilnya.

Ceritera waktu masih di SR Tinggarwangi — barangkali — kelihatan klise. Tidak ada yang baru, karena banyak yang mempunyai penga­laman serupa. Inipun saya singgung dengan dua alasan. Pertama, merupakan kenangan manis yang tidak mungkin diulang. Kedua, memberikan gambaran bahwa dalam kesederhanaan, orang tua dan para pendahulu tetap memikirkan kemajuan generasi berikutnya.

Kali ini, perlu saya tulis pengalaman dari dua sisi budaya, dari negara yang berbeda juga kurun waktu yang terpaut jauh. Namun ada esensi yang pantas kita ingat, bagaimana peranan guru dan lingkungan budaya sangat berkaitan. Bukan persoalan modern atau tidak. Tetapi yang lebih penting, saya mempunyai kaitan emosional dengan de­ngan kedua orang tua, khususnya Bapak sebagai seorang guru.

Lingkungan
Tinggarwangi 1950-1951. Menulis, menghitung dan menggambar menggunakan sabak dengan batu tulis atau grip. Bagi generasi 1960-an mungkin masih mengalami, sekarang tidak lagi. Guru me­nulis di papan tulis dan menilai pekerjaan dengan kapur. Kalau nilainya delapan, tempelkan ke pipi. Nilai paling top! Dibiarkan membekas sampai pulang ke rumah. Keren! Tidak ada nilai sem­bilan. Nilai sembilan cuma buat guru. Nilai sepu­luh alias sempurna untuk guru­nya guru. Nilai di bawah tujuh, tidak usah. Nilai lima, apa­lagi : ngisin-isini. Gagéyan débusêk.

Ada saatnya, membersihkan sabak ramai-ramai ke kali Tajum ber­sama guru. Membersihkan sabak, ramai-ramai pulang lagi ke kelas. Bekal­nya, arang yang lembut. Dijamin bersih. Meskipun sudah ber­sih, supaya mudah dan terasa lembut jika ditulisi dengan grip, guna­kan kêmaduan atau benalu. Nggak ngerti siapa yang memberi tahu. Nyatanya sangat efektif!

Ada korelasi ekologis. Makanya, biarkan jalan desa terutama yang melewati sawah, ditumbuhi pohon séngon. Sepan­jang jalan ke arah Margasana, dan dari pasar kulon menuju Purwo­jati, rindang karena pohon sengon. Saya memerlukan benalu-nya untuk mem­bersihkan sabak. Jadi benalu itu termasuk cleansing plant yang bisa digunakan sebagai pembersih sabak. Lembut ditulisi.

Mencari kêmaduan atau benalu di pohon séngon tepi jalan, tidak sulit. Anak yang sudah agak besar dan berani memanjat, memetik tidak untuk sendiri. Tetapi semua “anggota geng temporer” termasuk saya kebagian jatah. — Bocah ndésa ngêndi sing ora téyèng ménèk. Inyong tah urung wani. Wité gêdhé. Lêngên­ku angèl golihé cêkêlan. — Banyak benalu yang bertengger di pohon sengon, tersedia melimpah untuk seluruh anak-anak seko­lah se Ting­garwa­ngi sekalipun.

Grip atau atau batu tulis, harus selalu runcing. Karena terbuat dari bebatuan mudah tumpul. Untuk meruncingkan, diasah dengan meng­gunakan kréwèng atau pecah­an genteng. Lha wong Tinggar­wangi produsen genteng, mau cari yang kayak apa juga ada. Gratis. Berapa yang diperlukan? Ting­gar­wangi gudang genteng. Kalau cuma kréwèng saja sih, tersedia melim­pah. Siang malam. Tidak perlu harus memecahkan genteng yang masih utuh. Bêntèran juga tidak perlu. Ingat pula pelajaran pekerjaan tangan. Guru akan mencari kegiatan dengan bahan yang sesuai dengan lingkungan. Menjadi guru tidak mudah, disamping perlu talenta juga harus tlatèn dan kreatif.

. . . Tarsam lagi mèt wêdhi. Sing ana Kang Wangsa. — njaluk lêmahé, ya? Dédhawuhi nggawa nggo pekerjaan tangan. — nJiot ngonoh sing nêng pondhokan. Bisa ora ngiris nganggo pêrèt? Ngénèh têk jiotna. Nggo ngapa mau? — Pekerjaan tangan — O, lha wong inyong wis padatané êmplèk, pekerjaan tangan karo sikil . . .

Membuat pekerjaan tangan : membuat patung hewan dari tanah liat. Kerbau, sapi, ayam, dan sejenisnya. Jangan jangkrik atau yuyu! Terlalu kecil, dan sulit dibuat. Nggawé cuthangé kêprimèn! Tanah liat nggak kurang. Tinggal minta ke tetangga yang membuat genteng. Lembut dan mudah dibentuk. Jika sudah jadi, biarkan dijemur sampai kering. Untuk mem­peroleh warna merah kecoklatan seperti dibakar, tinggal mencari getah pohon angsana. Beres!

Nggak tahunya, teman-teman justru lebih pinter. Mereka membuat patung tanah liat berwujud kerbau, sapi, kuda bagus sekali. Sangat proporsional, halus. Kalau ada kesempatan barangkali bisa sekolah seni rupa! Mereka pengamat lingkungan yang baik. Hebat juga, ya! Saya pikir, guru waktu itu pinter juga. Tidak susah mencari bahan, wong cuma tanah liat yang kalau dibuat genteng paling-paling cuma jadi satu! Itupun genteng biasa, bukan genteng krêpus.

Krun
Menjelang tujuh belasan atau memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Bapak membeli gulungan kertas minyak warna merah dan putih. Memotong beberapa batang bambu dari dhapuran pring yang tumbuh di pojok pekarangan belakang sebelah timur. Bapak membuat krun, di pintu masuk halaman depan. Krun dari kata kroon ataukah crown? Bapak bilang, jangan menyebut krun tetapi gapura. — Nggih.

Empat batang bambu sepanjang ± 3 meter. Dua batang ditan­capkan di pintu masuk halaman depan sebelah kiri, berjajar de­ngan jarak kira-kira setengah meter. Dua lagi di bagian kanan. Pada bagian atas dihubungkan dengan rangkaian bambu mem­bentuk segitiga. Ikat sana, ikat sini, jadilah gapura dari bambu. Saya tidak ingat, siapa saja yang membantu.

Membuat lem dan memotong bambu kira-kira satu ruas dan dua ruas. Dipecah-pecah diraut. Saya diajari mem­buat beberapa bendera. Merah dan putih digandeng, Salah satu sisinya direkat­kan ke batang bambu. — Aja kêwalik. Sing abang nêng ndhuwur. Sing putih nêng ngisor. Kuwé Indonesia! — Lah iya, wong sudah sekolah kok ! Kan murid SR Tinggar­wangi. — Nganah nggolèt godhong andong, dhondhong apa liyané ... Aja mung godhongé, ning karo pangé sing sê-tangan dawané.

Gapura diberi pêthètan atau hiasan daun termasuk daun kelapa serta beberapa ben­dera kertas. Bagian atas juga, termasuk di puncak, diberi ben­dera yang lebih lebar. Juga dari kertas. Kalau pakai kain .. waah bisa bablas dadi kathok. Gapura selesai. Hiasan daun-daun dan bendera. Hebat juga bapak, ya? Rumah lain yang menghadap ke jalan juga membuat. Rasanya, buatan bapak paling keren!

Tiba saat hari tujuh belasan, baris ramai-ramai dari sekolahan ke Jatilawang lewat sawah dawa - Marga­sana - Adisara terus ke lapangan depan kawedanan. Kalau tidak salah, namanya alun-alun Gajah Mada. Jauh kan? Barisnya sih, nggak rapi-rapi amat. Pakaian sebagus-bagusnya yang dipunyai, tapi nggak pakai sepatu. Sepatu adalah urusannya Guru. Rontèk atau bendera merah putih dari kertas diki­bar-kibarkan, sembari teriak : Merdeka, merdeka, merdeka ... !


Menjelang tengah hari, bubar. Bersama sama ke emperan kawe­danan ... makan nasi bungkus! — Aja rêbutan. Njiot siji-siji. Kabèh mêsthi kêduman — Nggolèt nggon nêng sukêtan karo batiré. Ora wisuh ora apa ... Boleh pulang ramai-ramai, nyabrang kali dengan perahu. Merdeka, merdeka ...

— mBoké sih, mau ora nonton. Ramé pisan . . . — Lah anggêr mélu nonton, sing adang sapa? Kaé gapurané dédêlêng. Mbok ana wêdhus mangani pê­thètané . . . — (nêmbang sembari jalan) Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita . . . Hari merdeka, nusa dan bangsa . . .

Lakukan Sesuatu
Pada dasarnya, Bapak maupun mBoké telah banyak memberikan contoh untuk do something dengan menyertakan saya dalam berbagai kegiatan. Secara harfiah, do something itu ya melakukan sesuatu. Dulu, di kantor sering menggunakan istilah seperti itu, untuk meng­ung­kapkan bahwa dalam bekerja saya perlu kreatif dan mempunyai inisiatif. Bahkan kadang-kadang muncul dari imaginasi yang mun­cul­nya diawali dengan perkataan : “sean­dainya, jika,” dan seterusnya. Intinya tidak bengong, nganggur, cuma nunggu instruksi.

Bedanya, tatkala masih kanak-kanak, keteladanan Bapak dan mBoké diwujudkan dalam kebersamaan, yang mengakibatkan pengertian aja mung mênêng baé, giyé kaya kiyé utawa kaya kuwé. Aja ngêntèni dékongkon. Kreatif-lah!

1.  Gêdhig
Bagi mereka yang masih tinggal di Tinggarwangi, pasti faham. Tetapi, bagi mereka yang sudah jadi orang Betawi, lah ya kagak tahu! Ini yang saya alami setengah abad yang lalu. — Yaaa, Pa! Nggak kurang kuno tuh! — Namanya juga dalam rangka ingat kakek-nenek. Oleh karena itu, paparan ini perlu saya presen­tasikan. Anggap saja sebagai wacana — Wah, pakai bahasa lokakarya, lagi ! — Éh, iyé yé. Pan udèh pangsiun! Kagak dénês. Makanya, ini crita buat anak Jakarta saja!

Keluarga dulu memiliki beberapa bidang tegalan atau gaga. Kami memberi nama setiap bidangnya atas dasar lokasi, yakni : gaga pucung, randu dan giwing. Pucung, karena di dekatnya ada po­hon pucung atau kluwak, kluwêk. Randu, karena ada pohon randu. Giwing, karena letaknya persis di pinggir tebing sungai. Ada waktu tanam padi maupun kedele. Jika panen kedele, lebar halaman tidak cukup untuk menjemur sekaligus. Karena tidak bisa kering hanya da­lam satu hari, malam hari tetap dibiarkan terhampar. Saya bisa ikut sebagai anggota pe­nunggu. Senangnya bertambah jika men­da­pat menu lodhèh tawon.

Saat kedele sudah kering, perlu dikupas kulitnya, sehingga diper­oleh bijih kedele. Ada yang putih, ada yang hitam. Mayo­ritas hitam. Dikupasnya tidak satu persatu. Kapan selesainya! Kedele kering yang masih berkelopak dan bertangkai, ditumpuk di ha­laman dengan alas blêkêtépé. Blêkêtépé adalah pelepah daun kelapa, dibagi dua arah memanjang dan dianyam. Orang dewasa menggunakan bambu yang relatif kecil, anak-anak mengguna­kan batang pohon singkong sebagai sebagai pemukul yang panjang­nya sekitar 3 m. Berdiri di sebelah tumpukan, seraya mengayun­kan ke tumpukan kedele kering tadi. Kalau perlu, batang bambu dikasih lubang sedikit di bagian ujung agar saat diayunkan terdengar bunyi seperti peluit. Batang singkong untuk anak-anak, boleh dikasih kléwèran pita, biar cantik. Bak-buk, bak-buk sekenanya! Yang penting mèlu têmandang gawé, dadi ora déomèhi. Mengu­pas kedele dengan cara seperti itulah yang namanya gêdhig. Gêdhig peker­jaan laki-laki.

Bijih kedele yang terkupas, di bersihkan oleh orang perempuan dengan menggunakan nyiru atau tampah. Gerakan horisontal dan vertikal nyiru, berakibat geseran dan pemisahan bi­jih kedele dengan remah-remah kulit dan batang, debu, kerikil dan kotor­an lain. Karena proses gêdhig dilakukan di ruang terbuka, tentu banyak ceceran kedele. Nah, disinilah “partispasi tahap kedua” datang. Kumpulkan ceceran kedela dan bersihkan. Disimpan tersendiri, merupakan bonus. Kalau bonus itu sudah cukup dan layak jual, numpang sekalian kalau menjual ke pasar. Dhuwité kêna nggo badan. Maksudnya untuk hari raya lebaran.

— Ko ngumpulna wis olih pirang bêkong? — mBuh kaé. Têk bruk nêng cangkingan sing ora nana gagangé, pérêk glêdhêg. — Ngénèh déjiot, détakêr dhingin nêmbé mêngko dékêmbulna. — Kiyé. Akèh déyan, wong abot koh. — Dénèng sih ésih ana krikilé? — Sêmêndhing ikih! — Détapéni dhingin ...

2.  Ke sawah, ya piknik!
Lho, kok? Selain ladang, keluarga juga mempunyai sawah. Tidak luas. Cukup bagi saya mengenal sa­wah. Seperti ladang, waktu itu sawah juga untuk menanam padi dan kedele. Jika ada kegiatan panen, ramai-ramai mem­bantu Bapak membuat gubuk darurat. Saya kebagian membawa batang singkong yang besar atau bambu kecil ke sawah. Itu kan piknik! Saya bisa do something. Ada partisipasi, ada rekreasi. Partisi­pasinya, ya membantu kegiatan. Rekreasinya, ya membuat wa­yang dari rumput, mencari walang, peluit dan terom­pet batang padi dan sejenisnya. Happy, kan?

Di sawah, saya mengenal fauna yang kalau sudah masak menim­bulkan selera tinggi. Wêlut, lélé, boncél, dan kéong! Hewan yang hidup di habitat alami, rasanya jauuuuuuh lebih enak diban­ding­kan yang dibudidayakan. Lagian, namanya boncèl! Kayak nama di Cipulir Udik! Éé, kok urusan nama. Anggêr dégoréng sing bênêr, rasanê undha-undhi karo terri-yaki, koh ya? Salah satu kêkarêman Bapak memang dahar nénèran, yakni ikan yang diam­bil para tukang sésèr dari sungai.

Memang tidak terlalu sering ada kegiatan luar ruang bersama orang tua. Terbanyak, tentu saya lakukan sendiri dan teman-teman sebaya. Kegiatan luar ruang ada kemerdekaan, ya kan? — kegiatan luar ruang? Apa sih, kuwé?— Cara Tinggarwangi-né ya : out door activities!

3.  Kegiatan Luar Ruang
Tentu saja ada beberapa kegiatan luar ruang yang tidak bersama orang tua atau anggota keluarga. Pengertiannya sama, ada proses sosialisasi, dengan cara do something. Bagi anak-anak Tinggar­wangi — masa kanak-kanak saya — juga ada kegiatan rekreasi yang tergolong produktif. Antara lain : répèk dan rêngos.

Répèk adalah mencari dan mengumpulkan ranting dan kayu kering sebagai kayu bakar di dapur. Itu “pekerjaan” anak laki-laki. Di kebun, tanah-tanah kosong asal banyak pohon, di ladang, bah­kan tepi sungai banyak tersedia. Kegiatan search, find, collect and take it home! Kalau bersama teman, tidak ada rebutan, yang ada adalah berbagi. Semua dapat, semua happy. Kalau masuk daerah yang menurut orang rada-rada angker, ya amit-amit nuwun séwu, kula ndérèk répèk, nyuwun palilah, slamêt.

Sekarang, rêngos! Bagi mereka yang mengenal bahkan termasuk warga Tinggarwangi, rêngos adalah membantu kegiatan pemba­karan genteng. Mengumpulkan, membawa, menumpuk dan menata genteng di tempat pembakaran. Gotong royong, yang pada dasarnya tanpa upah. Orang dewasa laki-laki, perempuan mapun anak-anak memilik partisipasi sesuai kemampuannya. Seandainya ada “upah” adalah makanan, yang dinamakan jaburan. Seseorang melakukan rêngos, karena pada gilirannya dia juga akan dibantu bila mempunyai kegiatan serupa. Bagi saya — di masa kanak-kanak itu — adalah bentuk kebersamaan dengan lingkungan. Ada kalanya memang dilarang. Dilarang karena saya dianggap tidak pantas melakukan hal itu. Bisa juga yang dibantu merasa rikuh, tidak enak, kok saya ikut-ikut rêngos. Sebab konotasinya membantu pekerjaan. Makanya hanya terten­tu dan kepada tetangga. Bagaimanapun saya menikmati keber­samaan, lagi pula ya do something, lah!

4.  Blêdhèg Ngampat-ampar
Salah satu kejadian yang saya betul-betul angkat tangan dan tidak bisa melakukan apa-apa, adalah pada saat ada udan barat pancawara, langit kêlap-kêlap ... blêdhèg ngampat-ngampar ... sampai wuwungan dari seng, lepas terbawa angin. Waktu malam lagi! Air hujan masuk bagai ditumpahkan! Sementara mBoké mendekap salah seorang adik saya. Kêlalèn, mbuh sapa ora gênah, saking ciliké. Ba­pak ambil tangga, naik ke atas membetulkan atap lepas, sendi­rian! Sedi­kit-sedikit, sampai semua beres! Saya betul-betul do nothing.

Jika saya éling-éling, Bapak itu sebenarnya termasuk yang suka do something, senang melakukan sesuatu. Nggawé rajêg, glathak, kulah, gribig, yaaa, apa baèn! Ora mung krun karo diyan kurung. Cara menaruh perkakas pun harus pada tempatnya. Bahkan, membuat segelas kopi pun diperingatkan kalau airnya terlalu dekat ke bibir gelas. Make it close up to 10 mm from the top. Aja kêm­proh, aja kêmproh . . .

Bapak akan menyuruh saya melakukan sesuatu jika Bapak tahu saya mampu melakukan. Aja gambrèng, aja céngèng. Contoh yang nyata adalah masuk sekolah sendiri, hanya dibekali surat dan tentu saja arahan. Banyak perintah dan kegiatan yang menurut saya masuk kategori do something. Membuat alat permainan, seperti perahu de­ngan batang pisang dan dibawa ramai-ramai ke kali Tajum, perahu-perahu kertas dengan melihat gambar di buku dan dibawa ke sawah saat air penuh, dibakar kalau membayangkan armada tenggelam oleh musuh. Membuat periscope, model jaringan telepon sepanjang blumbang saat kering, dinding saluran air diumpamakan tebing gunung dan semacamnya. Kalau cuma kereta kulit jeruk, dan po­tongan pohon kelapa, sih sipiiil. Itu mah, low level.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendapat, saran dan komentar