Selasa, 04 Mei 2010

GÊDRIG

Gêdrig? Apa pula itu! Itu adalah kosa kata bahasa Jawa mengenai gaya tulisan dengan huruf tegak seperti yang tengah dibaca ini. Bukan huruf miring atau italic, juga bukan huruf sambung atau script. Saya ingin mengajak sejenak dengan ceritera lama. Suatu retro, tentang sekilas masa pembelajaran tempo doeloe; namun masih ada “garis yang jelas dengan masa kini ke depan”. Hampir pasti, tidak akan semenarik ceritera sinetron dan berita tentang “tikus wirog” kekayaan negara, ataupun selebriti yang kehidupannya mengalami on and off.

Mari kita mulai! Barangkali, kita pernah mengisi jawaban dan atau isian pada suatu formulir. Seringkali ada keterangan : Harap diisi dengan huruf cetak. Maksudnya adalah, agar kita menulis – tentu saja dengan tangan – pada kolom-kolom dan atau bagian yang perlu diberi keterangan dengan dengan huruf yang tegak, tidak bergandengan, layaknya huruf yang kita baca pada hasil cetakan pada umumnya.
Bagi mereka yang memahami bahasa Jawa dialek Banyumas, perintah pengisian formulir tersebut akan difahami sebagai tulisan gaya gêdrig. Saya pikir, istilah gêdrig itu sangat khas. Sebab, kalau menggunakan istilah huruf cetak, rasanya tidak tepat, bisa rancu bahkan ngambra-ambra. Mengapa? Huruf cetak dapat berarti :
  1. Huruf hasil proses cetak. Lha, ini menulis dengan tangan, kok.
  2. Huruf sebagai hasil cetakan. Ee, hasil cetakan itu sangat beragam. Ada huruf berkait (serif), tidak berkait (sans serif), tebal (bold), tipis (light), tegak (normal), miring (italic), dekoratif dan seterusnya. Yang mana?
  3. Bagaimana kalau diisi dengan cara mencetak? Laaah, lebih kacau lagi. Mau mencetak hanya pada selembar formulir?
Dulu di Tinggarwangi, Sekolah Rakyat (SR) hanya sampai kelas III. Lokasinya di pojok prapatan, sebelah utara-timur jalan desa. (Sekarang jadi Madrasah. Kok bisa ya?). Kalau mau melanjutkan ke kelas IV-VI pindah ke Pagentan atau Jatilawang. Ya di sekolah SR 3 Th itu, saya mengenal kosa kata gêdrig. Dalam pelajaran menulis, diperkenalkan dua gaya menulis aksara Latin, dengan kerataan di atas garis pandu. Pertama, gaya gêdrig atas dasar abjad Latin yang tiap hurufnya tegak. Tidak condong ke kanan maupun ke kiri. Tiap huruf dalam satu kata tidak berhimpit dan tidak bergandengan. Kedua, gaya tulisan alus atau gaya skrip (schrift, scrip), dengan kemiringan 60° (enam puluh derajat).

Gêdrig dan Skrip
1. Penulisan gaya gêdrig
Seandainya istilah gêdrig merupakan turunan dari istilah yang bukan bahasa Jawa, khususnya dialek Banyumas, saya tidak tahu. Dalam bidang tipografi, yang kini umum dipakai di kalangan praktisi penerbitan, kata gêdrig tidak dikenal. Kosa kata tersebut dalam bahasa Indonesia juga belum dikenal. Untunglah, bagi sebagian kalangan yang mambu sekolah di daerah yang menggunakan bahasa Jawa, kata gêdrig masih difahami. Menulis gaya gêdrig mengacu untuk menulis aksara Latin. Huruf dengan penulisan gaya gêdrig, cenderung formal, legible (mudah dibaca), kadang-kadang mempunyai kesan kaku.

Cobalah lihat ilustrasi tulisan gaya gêdrig berikut ini. Teks Tinggarwangi di bagian atas, adalah gaya skrip. Di sebelah kiri (warna merah) adalah model bentuk huruf yang diajarkan waktu itu. Sedangkan yang di sebelah kanan (warna biru) adalah bentuk huruf yang banyak dijumpai pada buku pelajaran menulis dan diajarkan saat ini. Perhatikan desain huruf a dan g.

Jika diamati secara visual dan meniru bentuk, jelas terdapat perbedaan yang nyata pada huruf kecil a dan g. Tentunya ada berpendapat : “Lah, kan sama saja bunyinya!” Benar, secara bunyi dan atau simbol bunyi, tentu saja sama. Tetapi secara desain, jelas tidak sama. Pernahkah terpikir apa dampak secara edukatif? Sebelah kiri, adalah bentuk yang dulu diajarkan.

Barangkali, semenak dekade 70 – 80 an, lebih banyak dijumpai bentuk huruf a dan g seperti di sebelah kanan. Saya katakan : banyak dijumpai, karena saya tidak yakin itu adalah bentuk resmi sesuai kurikulum panduan. Perlu diingat, sejak dekade termaksud, banyak buku pelajaran tingkat TK sekalipun yang dikeluarkan penerbit swasta, meski dengan “rekomendasi” Pemerintah. Bentuk huruf a di sebelah kanan mempunyai perbedaan yang sangat tipis dengan huruf o. Perhatikan teks “kaos” dibawah huruf a g. Seberapa jauh dampak pada proses dan tujuan pembelajaran, saya tidak tahu. Jika dibaca memang sama, namun dari secara tipografis jelas berbeda.

Pelajaran menulis dan membaca meliputi huruf kecil dan huruf besar. Sekarang kita mengerti, huruf kecil juga disebut onder kaast, lower case atau small case. Onder kaast itu bahasa Belanda. Harap maklum, Belanda juga menyumbangkan banyak kosa kata. Sedangkan lower case dan small case itu bahasa Inggris. Huruf besar disebut kapitaal, capital atau upper case.

Huruf besar dan huruf kecil mempunyai desain yang berbeda. Jadi tidak tepat bahkan termasuk salah, jika menulis huruf besar tetapi menggunakan desain huruf kecil yang menulisnya dibesarkan alias gêdhé-gêdhé.

Penulisan gaya miring (italic) bukan huruf tegak yang dimiringkan. Kekeliruan pengertian ini dapat menjadi lebih sulit jika harus mempelajari desain grafis dan typografi. So, be careful! Sementara itu, gaya skrip sama sekali bukan gaya miring atau italic. Sedang gaya tegak, untuk sementara kita gunakan istilah gaya normal atau desain pokok huruf yang bersangkutan atau roman. Dikatakan sementara, karena kalau kita pelajari selanjutnya, akan diketemukan gaya-gaya yang lain atas dasar desain pokok sesuatu huruf.

Jika kita mempelajari lebih lanjut tentang huruf, baik sebagai simbol bunyi maupun sebagai desain, mungkin perlu waktu satu semester. Jadi, yang lebih njlimet, entar dulu.

2. Penulisan gaya skrip
Tulisan gaya skrip seringkali disebut sebagai tulisan Latin. Lihat teks Tinggarwangi pada ilustrasi 1 di atas. Kiranya istilah tersebut memang telah salah kaprah. Karena pengertian tulisan Latin artinya tulisan yang berdasarkan abjad atau alfabet Latin; untuk membedakan tulisan dengan abjad lainnya, misalnya abjad Jawa, Arab, Yunani dan seterusnya.
Gaya skrip atau schrift, memang gaya tulisan tangan. Tidak sama dengan pengertian huruf miring atau italic (bahasa Inggris) maupun kursiv (cursive). Di Padang Sidempuan, Tapanuli, disebut huruf sambung atau huruf tali, karena memang bersambung layaknya tali.

Perbedaan gaya skrip dengan gaya gêdrig ataupun tegak, bukan hanya karena soal saling bersambungan. Tetapi ada perbedaan desain dengan tulisan gêdrig. Penulisan gaya skrip, lebih pribaDI, tidak resmi dan lembut. Karena desain huruf skrip yang khas, maka sebaiknya digunakan untuk menulis secara gabungan antara huruf besar dengan huruf kecil. Untuk itu, kita perlu memahami kaidah bahasa yang terkait dalam hal penggunaan huruf besar dan huruf kecil. Huruf skrip tidak cocok untuk penulisan dengan huruf besar semua atau all capitals. Barangkali, karena tulisan gaya skrip termaksud membutuhkan kehalusan guratan, maka pelajarannya dinamakan menulis halus atau nulis alus.

Pembelajaran
Tempo doeloe, guru memberi contoh di blabag alias papan tulis. Murid meniru dengan grip atau batu tulis pada sebidang sabak. Grip adalah alat penulis seperti pinsil yang terbuat dari batu. Kalau kurang runcing diasah pada potongan genteng alias krèwèng. Lama-lama pendek. Jika sudah pendek dan susah dipegang, disambung dengan plêting. Hah? Apa itu? Plêting adalah batang bambu kecil (biasanya pring atau bambu Gêndani, dengan diameter 1-1.5 cm.) Atau dé-blêbêd kertas biar terasa panjang. Bisa kalian bayangkan?

Penggunaan pena untuk menulis makin memperjelas guratan tebal dan tipis huruf. Kentara sekali tebal tipisnya tiap guratan. Bahkan kemiringannya dijaga pada posisi 30° (tiga puluh derajat). Pada bagian menulis halus inilah, kita sebenarnya dilatih membentuk citra halus dan cermat.

Bagaimana dengan sabak? Sabak juga terbuat dari sejenis batu pipih menyerupai papan tipis, halus. Warnanya - tentu saja - hitam, luasnya sedikit lebih luas dari ukuran kertas kwarto. Agar mudah dibawa dan dipegang, diberi bingkai kayu sekitar 2 cm lebarnya. Grip (batu tulis) diguratkan, layaknya kita menulis dengan pinsil. Bisa dihapus dengan tangan. Untuk menjaga kebersihan dan terasa lembut kalau ditulisi, bersihkan secara berkala dengan cairan kemaduan atau benalu yang banyak tumbuh di pohon séngon di pinggir jalan desa. Atau memakai arang dan bilas dengan air.

Tempo doeloe, sepanjang gili sawah dawa (jalan yang menembus persawahan) antara Margasana dengan Tinggarwangi dan Pasar Kulon (Pagentan) ke utara, banyak ditanam pohon séngon. Diantara celah-celah dahan pohon séngon itu numpang tumbuh benalu-benalu alias kemaduan. Ya dari umbi kemaduan itu, setelah sedikit dikupas atau dipotong, digunakan untuk membersihkan sabak. Hasilnya: prima. Sabak bersih, dan menjadi lembut ditulisi maupun dihapus kembali. Ora mbarèt.

Sarana menulispun sepadan. Menulis dengan menggunakan mata pena yang ditaruh pada ujung pegangan selayaknya pinsil. Mencelupkan mata pena ke dalam cairan mangsi atau tinta jangan terlalu dalam agar tinta tidak terlalu banyak melekat. Jika terlalu banyak melekat pada mata pena, maka tinta akan jatuh membanjiri tulisan karena gaya beratnya, alias tulisan akan mblobor. Apa sih, mblobor? Menulis dengan pena adalah bagian wajib dalam pelajaran nulis alus.

Perlengkapan utama menulis huruf gaya skrip waktu itu adalah : klaad (selembar kertas tebal yang sudah ada garis miring 30° sebagai panduan kemiringan huruf), pena, tinta, dan plui. Istilah klad (klaad) memang bukan asli bahasa Indonesia, juga bukan asli Jawa melainkan turunan dari bahasa asing khususnya Belanda. Selain klad, ada juga Plui atau kertas hisap (blotting paper), untuk mempercepat pengeringan tulisan.

Tiap murid rata-rata memiliki lebih dari satu mata pena, terutama buat cadangan kalau ada yang aus, melengkung, karat dan sejenisnya. Karena terbuat dari seng tipis? Agar awet, terutama dari serangan karat, disimpan di kotak korek api diisi beras, agar menyerap kelembaban penyebab karat. Kotak korek api merk Jönköpings yang sudah habis cuncek-nya, menjadi favorit penyimpanan mata pena.

Munculnya ball point sebagai alat tulis memang sangat memudahkan cara menulis. Relatif tidak mudah barèt karena ujungnya tidak runcing benar, melainkan berbentuk bulat seperti bola kecil. Pinsil lebih banyak digunakan untuk membuat catatan yang sifatnya konsep dan orèt-orètan. Kata kunci waktu itu, menyebutkan: jangan menggunakan pinsil untuk menulis surat. Sembrana! Sebagus apapun tulisannya dan sesopan apapun isinya.

Cara menulis dengan tinta dan pena masih tetap digunakan hingga saat ini. Tentu saja mata pena-nya tidak sama. Bagian ujungnya jauh lebih halus, bahkan membentuk bola yang dipilih apakah yang menapak kecil (fine) sehingga membentuk guratan tipis, atukah yang lebih tebal (medium). Mata pena dengan tabung tinda serta pegangannya sudah menjadi satu. Orang menyebut pulpen atau fountainpen tadi.

Bagi sebagian orang memang terasa ada kenyamanan menulis dengan pena. Guratan, berat ringannya dipegang, bahkan lekuk yang ergonomis sangat membantu pemilihan alat tulis bagi seseorang. Bukan sekedar gaya, tetapi memang membentuk “citra” tersendiri. Apalagi kalau merk Parker, Sheaffer bahkan Mont Blanc!

Jaman terus berubah. Metode belajar membaca dan menulis juga mengalami perubahan. Terlebih lagi sarana tulis yang dipakai. Untuk sementara, tujuan merubah keadaan buta aksara (angka dan tanda baca) menjadi melek huruf, tercapai. Selanjutnya tentu ada tujuan lain dan bahkan jauh lebih penting. Antara lain bagaimana kita mampu berkomunikasi, artinya menyampaikan pandangan dan menangkap pengertian dalam tata kehidupan bermasyakarat. Budaya baca tulis bukan lagi sekedar melek huruf, melainkan bagian dari budaya dan peradaban bangsa. Salam - Tu Ds.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendapat, saran dan komentar